Ketua Umum IMC Jadi Duta Inisiatif Indonesia
Ketua Umum IMC Hendrik Arrizqy Jadi Duta Inisiatif Indonesia
Belakangan ini muncul kembali isu tentang ijazah Presiden Jokowi bahkan setelah masa jabatannya usai... Baca Selengkapnya
Oleh: Nurjaya, Founder Ibo Politica Indonesia
Saya lahir dari keluarga buruh tani di sudut pedalaman Banten. Sejak kecil, orangtua saya menanamkan satu nilai yang terus saya bawa sampai sekarang: kejujuran itu tidak bisa ditawar, dan pendidikan adalah jalan panjang untuk mengubah nasib.
Maka ketika belakangan ini muncul kembali isu tentang ijazah Presiden Jokowi bahkan setelah masa jabatannya usai, saya seperti ditarik kembali ke ruang kelas sekolah dasar, tempat guru saya pernah berpesan, “Jangan jadi jahat, meski kamu sedang kalah.”
Saya bukan tokoh penting. Bukan pejabat. Bukan pula tokoh partai. Saya hanyalah mantan wartawan, sekarang bekerja sebagai konsultan politik, dan masih percaya bahwa politik seharusnya berpijak pada akal sehat, bukan pada kebencian. Ketika Bareskrim menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli setelah berbagai uji forensik terhadap kertas, tinta, tanda tangan, dan cap, saya merasa bukan cuma kebenaran yang ditegakkan, tetapi juga secercah harapan bahwa logika masih bisa hidup di negeri ini.
Tapi saya sadar, ini belum akhir cerita.
Karena di negeri ini, terkadang kebenaran tak cukup kuat jika tidak sejalan dengan rasa benci yang sudah lama dipelihara.
Apakah Ini Akan Berakhir?
Jujur, saya sangsi. Karena ini bukan hanya perkara hukum. Ini tentang luka lama yang belum sembuh, tentang kebiasaan lama yang belum ditinggalkan. Kita terlalu sering menempatkan pemimpin sebagai pelampiasan rasa kecewa. Dan bagi sebagian orang, Jokowi masih jadi simbol dari harapan yang tak sesuai harapan dan karena itu, terus dijadikan sasaran.
Saya tahu rasanya. Pernah menulis berita yang saya anggap jujur, tapi kemudian dipelintir demi kepentingan tertentu. Pernah melihat bagaimana hoaks tumbuh liar, lalu dikemas rapi menjadi “fakta alternatif.” Maka saya tidak terkejut kalau masih ada yang tidak percaya pada hasil forensik resmi. Karena yang dicari bukan lagi kebenaran melainkan pembenaran terhadap kebencian yang sudah tumbuh dalam diam.
Manusia dan Kebencian
Aneh memang. Ketika kita sudah terlanjur benci, semua bukti terasa palsu. Tapi saat kita mencintai secara berlebihan, semua kesalahan pun dianggap layak dimaklumi.
Jadi tidak perlu heran kalau hasil investigasi Bareskrim dituduh rekayasa. Bahkan kalau malaikat turun bicara pun mungkin akan dianggap bagian dari “skenario besar.” Karena buat sebagian orang, bukan soal benar atau salah tapi tentang siapa yang boleh menang.
Dan saya percaya, ini bukan cuma soal Jokowi. Ini tentang bangsa kita. Tentang bagaimana kita memperlakukan kenyataan. Apakah kita siap menerima yang berbeda dari harapan, atau terus memilih hidup dalam labirin kecurigaan dan teori konspirasi?
Setelah Jokowi, Siapa Berikutnya?
Pertanyaan ini terus terngiang di benak saya. Karena saya tahu, fitnah itu candu. Sekali terasa berhasil, ia akan terus digunakan. Setelah Jokowi, mungkin Prabowo. Mungkin Ganjar. Atau siapa saja yang mencoba mendekati kekuasaan, tapi tidak sesuai dengan selera kelompok tertentu.
Kita sudah terlalu biasa menghakimi pemimpin bahkan sebelum mereka bekerja. Kita hidup di zaman “asal tuduh, asal ribut.” Dan itu mengkhawatirkan. Karena ketika politik jadi ajang saling bunuh karakter, bukan tempat untuk memperjuangkan ide, maka rusaklah semua.
Saya melihatnya sendiri. Saat bergabung dalam tim pemenangan, saya menyaksikan bagaimana seseorang bisa dihancurkan karakternya dalam waktu singkat tanpa bukti, tanpa ruang klarifikasi, dan sering kali tanpa perikemanusiaan.
Diam Pun Salah
Di era digital ini, diam pun bisa jadi kesalahan. Tidak bersuara dituduh bersembunyi. Bicara sedikit dianggap mengintervensi. Duduk di warung bisa jadi bahan spekulasi.
Saya tak bisa membayangkan lelahnya jadi mantan presiden hari ini. Mau istirahat, dipertanyakan. Mau berlibur, dicurigai. Bahkan ketika sudah tak lagi menjabat, tetap saja dijadikan sasaran.
Ini bukan demokrasi sehat. Ini semacam perundungan kolektif, yang dibungkus dengan label “kritik.”
Saatnya Berhenti Mencurigai Segalanya
Sebagai anak kampung, saya tidak pernah membayangkan akan menulis tentang presiden. Tapi kali ini saya menulis bukan untuk Jokowi, melainkan untuk bangsa ini. Karena kita harus sembuh. Kita harus berhenti jadi bangsa yang gemar mencurigai, gemar menghujat, gemar menyebar fitnah.
Ijazah itu sudah diuji. Sudah dinyatakan asli. Bukti sudah disampaikan. Ilmu pengetahuan sudah bicara. Sekarang giliran kita yang menentukan: mau terus hidup dalam dunia gelap penuh curiga, atau memilih jadi bangsa yang waras dan siap maju?
Karena kalau hari ini kita gagal menerima kebenaran yang sudah dibuktikan, maka siapa pun pemimpin yang naik nanti akan selalu diburu bukan dengan akal sehat, tapi dengan tuduhan yang sama.
Setelah Jokowi, siapa lagi?
Atau... apakah kita siap menjadi bangsa yang lebih dewasa dalam berpikir, lebih sehat dalam hati, dan lebih jujur dalam menerima kenyataan?
Ketua Umum IMC Hendrik Arrizqy Jadi Duta Inisiatif Indonesia
PT Samudera Banten Jaya Bangun Harmoni dengan Masyarakat, Warga Apresiasi Langkah Nyata
Pemerintah Bakal Bentuk Kampung Nelayan Merah Putih di Binuangeun